#22 Dear People in a Country With Phone Code +62... (A Problem With Low READING INTEREST)




I don't think it is a hoax when Indonesia has a low reading interest. I read articles (I found on antaranews.com and thejakartapost.com) concerning reading interest in Indonesia that published a few years ago and I was surprised by the fact that Indonesian ranked 60th of 61 countries between Thailand in 59th and Bostwana in 61st for the 'Most Literate Nation in the World' in 2016, believe it or not, that's the fact. And welcome to the fact! How we can cope with this low literacy culture?

I can't help but believe because I experienced a small fact when I tried to share my random opinions in a writing/article form on Instant messaging apps such as WhatsApp, people tend to ignore it all. Of course, for some reason it does not matter for me because they had a right and had their own excuses to ignore my WA story, they might think it was unimportant and uninteresting.

But the most important is, there is a frequently asked question like "how to grow a reading interest?"

Having low reading interest is not just happen to kids but also to all of the age range. Honestly, I do not feel as if I am an intellect or geek when I give concern to this issue. I feel concerned when I look at the facts that Indonesians are easily cheated by false information where they find it on the internet and they spread it throughout their social media account even without accuracy check. I feel sad when looking at parents, whom tend to give their kids devices than books or read their kids a story. I can't believe that people today prefer scrolling and tapping their social media to see other's outfits instead of reading news or article. I feel sad when I look at to the people that visit libraries just to take a picture with bookshelf background to be uploaded on Instagram instead of reading and discussing a book.

Wait, do not get them wrong, Warda. They might read on digital platforms. Come on, it is a digital era!

Yeah, it might be so. We can read the book online or in pdf form instead of a printed book.

I want to say many, many thanks to people who contribute to either technology advancement or advanced information technology that make lives easier than before. Again, I hear Indonesia comes to enter Industry 4.0 which anything can be done in a digital way. But sadly, not all information that available on the internet is valid and trusted. I think that book as 'jendela dunia' is still can't be substituted by anything. Meanwhile, we know that staring at the screen of our gadget very often and in a long duration can affect badly to eyesight.

There might be lots of people who have an interest in reading but have limited access to the book:
  • Far access to the libraries
  • A limited collection of books that available in the library
  • They can't afford to buy a book because it cost expensive
  • Inadequate Internet access to read
  • The government does not facilitate them to grow reading culture and etc.

It might not fair if I make generalizations toward Indonesians that they are lazy to read. They actually always read at all the time on a smartphone but without we know what do they access and read. The digital era has changed reading behavior. Today generation who live in the digital era can access reading materials such as books, journal research, news, article in many sources and distribute it all through media social.

Least but not last, instead of "how to grow a reading interest in Indonesia?" it will be better becomes "what I/we can do to help people make reading as a habit?" and the government should interfere in this issue also invest more to education and literacy terms in order to create better generation.

I am sure that it will not be disadvantaged us if we like reading. We can start with easy and fun reading material like short story, folklore, comic or perhaps novel then we can change our reading material into serious theme/topic. When we become interested in reading we will make it a habit then it becomes part of our character.

I have some words to remind myself who always want to be a writer 'If you want to write something then you have to read, how you can write if you do not read'.

#21 Tulisan Awal 2020


dok. pribadi


Guys, 2019 telah berlalu nih! (uda tau kalii) dan untuk pertama kalinya di tahun 2020 ini saya sengaja nulis ga pake bahasa planet. Dan juga saya bukan mau nulis resolusi 2020 sih melainkan mau numpang dan berbagi cerita tentang evaluasi diri. Gitu doang kok! Iya sih, emang cukup telat nge-post ini, harusnya di awal bulan pas begitu memasuki tahun baru (dan saya kemana aja...halooo...)

Jujur aja, ada buanyaak hal yang harus saya evaluasi atas tahun-tahun sebelumnya yang mana musti saya perbaiki setiap harinya bukan cuma untuk tahun 2020, dan saya ingin menulisnya beberapa disini.

Kesukesan & kegagalan

Yang pertama adalah tentang kesuksesan dan kegagalan, kalau generasi sekarang berlomba-lomba meraih pencapaian dan kesuksesan yang mana kebanyakan dari mereka menganggap standar kesuksesan itu adalah harta jadinya sukses itu ketika kita punya segalanya dan biasanya dari segi materi sih. Parahnya, saya juga pernah berfikir seperti ini karena referensi yang didapat sebelumnya seperti seolah-olah orang mengatakan;

Ayo War... kamu harus kejar cita-citamu, raih kesuksesan, harus kerja keras biar punya banyak uang, dengan banyak uang kamu bisa melakuakan apapun sesuai yang kamu mau dan bisa beli apapun yang kamu inginkan, kamu harus bisa bikin orang tua/keluarga dan orang-orang bangga padamu, kamu harus punya ini dan itu dan bla... bla... bla!!!

Lalu ketika melihat teman-teman atau anak tetangga yang berhasil, semisal; udah wisuda terus sudah dapat kerja dan kebeli sesuatu, hal ini membuat saya jadi agak down gitu karena mencoba membandingkan diri sama orang lain ‘aku kapan kayak dia’, tak berhenti disitu saja, sama halnya ketika mengunjungi perpustakaan dan toko-toko buku dimana buku-buku motivasi tentang sukses mulai dari bukunya Robert Kiyosaki, Jack Ma, Bob Sadino, Steve Job yang mana mereka mungkin termasuk kedalam daftar orang terkaya dan sukses dalam segi bisnis dan keuangan dan buku-buku semacam “How to...” terutama "how to reach success, how to get rich" berseliweran semakin meyakinkan saya kalau sukses itu wajib hukumnya, ditambah banyak komunitas atau kelompok tertentu yang baik itu mengajak maupun memaksa untuk gabung di komunitas bisnisnya dengan embel-embel sukses bareng-bareng, dan sering berkoar kalo saya ikut dan gabung di bisnis tersebut niscaya akan berpenghasilan sekian tiap harinya, bisa kebeli iphone/motor/mobil, berangkatin orang tua berhaji dll. padahal kesuksesan itu ga harus melulu dinilai dari keberhasilan materi. Saya menyadari jika standar sukses itu adalah soal materi hal ini hanya membuat saya tertekan. Saya tak ada upaya untuk menjadi jutawan atau milyarder yang penting hidup itu seimbang. Menurut saya hal kecil seperti berhasil meninggalkan kebiasaan buruk itu juga bisa dikatakan kesuksesan.

dok. pribadi


Harusnya sih ga ada yang perlu dibikin pusing tentang kesuksesan ataupun kegagalan ini semua ada masa-masanya, saya berfikir ga ada yang larang untuk jadi sukses tapi juga ga ada yang nyuruh untuk sukses tiap orang punya keterbatasan masing-masing dan punya jalan/caranya masing-masing tapi bukan berarti saya berleha-leha tidak mau berusaha hanya saja saya tidak ingin kata ‘sukses’ ini menjadi beban ketimbang motivasi.

Bergaul

Yang satu ini bukan tentang tips-tips bergaul/komunikasi. Bergaul, menjadi bahan evaluasi saya karena ada hal-hal yang saya harus hati-hati di dalamnya, ini tentang karakter orang yang berbeda-beda, ada yang santuy, ada yang ramah dan supel, ada juga yang gampang tersinggung/baper (kayak saya), ada juga yang pendiam yang jutek juga ada. Apapun kondisinya orang yang pernah saya temui, saya harus belajar bijak dalam bersikap dan berkata-kata kepada orang lain sekalipun mereka adalah teman atau orang terdekat saya yang mana saya anggap santuy. Saya telah dan sedang menahan diri dari tindakan body shaming, hate speech, judging people, insult/bullying, meledek sekalipun niatnya candaan, marah-marah dan nyindir yang mana dalam agama pun tak diperbolehkan tindakan-tindakan seperti itu apalagi bagi seorang muslim, saya emang seorang muslim yang masih harus banyak belajar. Dan saya akan sangat sedih ketika ga ada orang yang mau mengingatkan saya ketika saya berbuat suatu kesalahan, dan baiknya harus saling mengingatkan, tapi mengingatkan orang pun ada cara dan etika-nya jangan sampai jatuhnya mempermalukan mereka begitupun dalam berpendapat kalau sekiranya ada yang ga setuju utarakan alasanya dengan baik dan tetap santun, saya pernah dengar seorang penceramah di suatu kajian Islam katanya “bukan seorang muslim kalau orang berada didekatnya merasa panas dan tidak nyaman” dan saya menyimpulkan bahwa seorang muslim itu harus damai dan menyejukan orang-orang disekitarnya bukan malah bikin ilfil (turn off). Semoga saja orang-orang yang pernah kenal dengan saya tidak merasa terganggu dengan kehadiran saya, maafkan saya jika saya ada salah dalam tidakan dan ucapan.

Belajar, belajar dan terus belajar.

Iya betul, belajar itu ga melulu di sekolah/kuliahan, dulu saya selalu merasa bebas kalau libur sekolah dan merdeka dari belajar ketika saya sudah tidak lagi sekolah/kuliah. Padahal belajar itu tak dibatasi waktu, tempat, umur dan gender tentunya. terkadang ada hal-hal lain yang saya ga pelajari di sekolah. Saya pernah dengar seseorang berkata bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk pembelajar jadi sampai kapanpun akan senantiasa belajar. Nasihat terbaik yang pernah saya dengar adalah tingkatkan rasa keigintahuan (kepo) kita terhadap ilmu bukan kepo terhadap hidup orang lain hehe... maksudnya jangan pernah merasa cukup dengan ilmu/pengetahuan yang mana kita bisa hidup dan bermanfaat dengan ilmu/pengetahuan itu. Dan saya siap menerima ilmu darimanapun datangnya, meski yang menyampaikanya seorang anak kecil sekalipun ataupun bukan orang yang terkenal tapi kalau yang disampaikanya kebenaran saya harus terima itu.

So guys, keep learning even though you don’t go to school anymore even if you get older, learning will never end.

Bersyukur dan merasa cukup

“Jangan selalu melihat keatas tapi juga lihat kebawah!” begitulah kira-kira yang orang tua saya sering katakan tiap kali saya negeluh dan banyak maunya. Selalu membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang lebih beruntung dari saya adalah salah satu kebiasaan buruk saya dulu, tanpa berfikir masih ada banyak orang yang kurang beruntung dibanding saya.
Lihat orang liburan ke jepang, reaksi saya “Ih, enak ya bisa liburan ke Jepang!”

Lihat orang punya motor keren, reaksi saya “Ih, kayaknya enak ya punya motor, kemana-mana bisa lebih gampang”

Lihat orang lain pake mobil, reaksi saya “Ih, enak ya pake mobil ga kehujanan ga kepanasan!”

Lihat orang kuliah ke luar negeri, reaksi saya “Ih, kayaknya enak ya jadi dia bisa sekolah dan tinggal di luar negeri!”

Lihat orang punya bisnis A. reaksi saya “Ih, kayaknya aku juga harus punya bisnis kayak gini!”

dan saya juga ga kepikiran bahwa kesehatan, makanan yang cukup, kumpul sama keluarga, pernah bersekolah adalah rezki tak terhingga dari Allah, juga harus saya syukuri. Percuma banyak harta, makanan tapi kita ga sehat secara pisik maupun mental kita ga bisa menikmati itu semua.

Pernah suatu kali saya berfikir, karena saya ga bisa nyetir dan ga punya kendaraan pribadi, oh iya juga ya ternyata ada hikmahnya juga dari tidak punyanya kendaraan pribadi membuat saya ga suka keluyuran yang ga ada faedahnya, saya ga harus isi bensin, ga perlu keluar duit buat ganti oli dan sparepart lainya, tidak ada resiko tiba-tiba mogok di jalan dan harus dorong-dorong sendiri nyari pombensin atau bengkel, ga harus bayar pajak kendaraan, tak ada resiko ditilang polisi, ga perlu ada yang dikhawatirkan untuk dicuri/kehilangan, resiko tabrakan lebih kecil, ga harus pusing bikin garasi dan lain-lainya meskipun memiliki kendaraan pribadi banyak manfaatnya salah satunya  lebih mudah kalau berpergian ga perlu ribet jalan kaki, naik angkutan umum atau bis. dan hikmah di balik itu menjadikan saya senantiasa bersyukur ga perlu uring-uringan ke tuhan.

Berbeda halnya dengan belajar/mencari ilmu yang jangan merasa cukup tetapi bersyukur dan merasa cukup atas apa yang saya miliki adalah anjuran karena kalau ga pandai-pandai bersyukur nanti takutnya jatuh ke masalah kesehatan mental dan juga penyakit hati. Hal ini juga penting buat jadi bahan evaluasi saya.

Hmmh... kepanjangan ya?! Ya sudah, saya cukupkan dulu ya. Semoga kita makin lebih baik dari hari ke harinya. Tetap saling respect, ya!


Also read: The Pursuit of Happiness

#26 Ngulik tentang Financial Literacy

  Photo by Chronis Yan on Unsplash Di blog ini pula, saya pernah sebelumnya menulis tulisan dengan judul “ "#14 Belajar Gaya Hidu...