#11 Sexy killers dan Oligarki, kaitanya?



Okay, jadi ceritanya saya abis nonton film documenter “sexy killer”. Waktu itu saya pikir ini cuma film Hollywood biasa tapi karena saya juga nemu salah satu news platform yang ngebahas film ini, pun tiap saya buka youtube dia selalu muncul dan view nya banyak banget jadi saya klik deh. Saya nonton film ini satu hari setelah pilpres. Ternyata bukan sekedar film melainkan realita yang membuka pikiran saya tentang betapa tidak beresnya Indonesia tercinta ini.

Lalu bagaimana reaksi anda yang sudah nonton film ini, sedih, kesal, kecewakah? Seperti yang kita tau dalam film tersebut membeberkan sejumlah kerusakan tanah/alam  akibat aktivitas penambangan batubara dan keberadaan PLTU serta masyarakat sekitar yang terkena dampak aktivitas tersebut belum lagi sejumlah elit dan perusahaan yang dinilai kurang bertanggung jawab dibalik semua kerusakan itu. Lantas siapa yang harus disalahkan dan dimintai pertanggungjawaban dalam hal ini, perusahaan atau pemerintahkah?

Memang paling enak ya untuk nyalahin orang. Ya, saya tau ada sisi semrautnya dalam pemerimtahan ini. Anda yang kemarin turut serta dalam hingar bingar pesta demokrasi dan sampai segitunya membela dan menjagokan masing-masing paslon capres dan cawapres pilihan anda. Sebagian anda mungkin tidak tau bagaimana realita dibalik itu semuanya.

Dulu saya mengira masalah penamabangan terbesar ini hanya terfokus pada Freeport saja dengan pengerukan gunung emasnya di Papua. Tapi Kalimantan pun yang dulu terkenal sebagai paru-paru dunia karena hutan-nya yang luas kondisinya sudah berubah, tak ada lagi paru-paru dunia.

Kita sebagai part of society juga harus aware, sadar lingkungan. Saya dan anda nggak bisa melulu sepenuhnya nyalahin pemerintah atau perusahaan tertentu, bagaimanapun kita juga pelaku dalam hal ini. Listrik yang sekarang bisa kita nikmati kapan aja, itu semua harus ada pengorbanan. Mereka yang hidup disekitar area penambangan dan PLTU harus menderita, merasakan dampak dari semua ini. Ini terjadi demi memenuhi kebutuhan pasokan listrik untuk berjuta-juta orang di Indonesia. Sementara kita yang hidup diperkotaan atau yang posisinya jauh dari area penambangan dan PLTU tak peduli yang penting bisa nikmatin listrik dan tinggal menggunakanya tanpa mempertimbangkan hemat-borosnya, sekalinya ada pemadaman listrik pun sudah pasti mengeluh. Kita mana tau listrik yang mengalir kerumah kita mulanya dari mana.

Di sisi lain listrik itu penting untuk menunjang kehidupan kita. Apa-apa pakai listrik. Sadar akan pasokan listrik yang menuntut banyak agar seluruh Indonesia secara merata bisa menikmati listrik tersebut bahkan hingga ke pelosok, pemerintah harus menyediakan beribu-ribu Mega Watt dan untuk menghasilkan sebanyak itu mereka harus mengorek dan mendapatkan lebih banyak lagi batu bara. Pada dasarnya batu bara ini adalah bahan tambang yang termasuk sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui karena batubara ini berasal dari fosil tumbuhan yang tertimbun dalam lapisan bumi jutaan taun yang lalu. Logikanya, kalau terus-menerus digali dan diambil pasti lama-lama akan habis dong, dan meninggalkan bekas galian yang besar dan parahnya lubang-lubang bekas galian itu gak lantas di reklamasi kembali dalam kata lain dibiarkan begitu saja menjadi tempat genangan air nggak heran juga sampai memakan korban jiwa. Jangan tanya gimana cara dapatkan batu bara itu sendiri, datangi dan lihat sendiri wilayah penambangan atau bekas penambangannya, perhatikan kondisi alam dan lingkungannya. Miris sekali, seperti yang anda lihat di film sexy killer itu. Lalu kerusakanpun berlanjut tak hanya di darat, hasil batu bara tadi perlu dikirim ke PLTU dengan menggunakan tongkang via perairan, tongkang ini ga cuma sekedar lewat tetapi juga menimbulkan kerusakan pada terumbu karang, ekosistem laut dan berkurangnya ikan, imbasnya ke nelayan-nelayan kecil yang hidup dari situ.

Memang tidak ada alternative lain kah selain batu bara untuk menghasilkan listrik? Tentu saja ada, seperti tenaga angin, air ataupun sel surya tapi sayangnya semua itu tidak murah. Pemerintah lebih memilih batubara dengan alasan lebih murah. Lebih murah tapi tidak setimpal dengan kerusakan yang diakibatkanya. Tapi mungkin ada alasan lain dibalik lebih memilih batu bara ketimbang sumber daya alam lainya.

Lantas apa kaitanya dengan Oligarki?

Karena dalam film tersebut menyebut sejumlah perusahaan dan elit politik sampai keterkaitanya dengan pilpres 2019 membuat saya ingin tau lebih jauh sampai pada saatnya saya menemukan istilah oligarki ini.

Apa oligarki itu, judul film kah atau nama kota/Negara mungkin?

Singkatnya oligarki ini adalah pemerintahan yang kekuasaan politiknya di kuasai oleh kelompok elit kecil. Definisi detailnya bisa cari di buku-buku atau internet/wikipedia.

Saya menonton video Jeffrey Winters dalam sesi perkuliahanya yang fokus pada oligarki ini. Meskipun ini adalah perkuliahan umum karena Jeffrey Winters notabenya adalah lecturer kita manggilnya dosen lah tapi saya berasa nonton acara presentasi TEDx talk dan dia menyamapaikanya cukup bagus dan mudah dicerna.

Disni saya berusaha ‘being neutral’. Jadi ketika saya tau istilah oligarki ini saya menangkap bahwa situasi perpolitikan dikita ini gak jauh ditentukan oleh oligarki juga. Kesanya orang yang punya power dan money lah yang bisa menjadi pemimpin dan berkuasa. Kita hanya rakyat biasa yang gak punya power dan selalu pasrah gitu aja karena siapapun pasangan capres yang menang, rakyat tetap akan kalah. Masalahnya rakyat boleh memilih siapa presidenya tapi tidak bisa menentukan siapa saja yang maju menjadi pasangan capres dan cawapres. Tentu saja. Hal itu sudah di tentukan oleh para ‘oligarch’, orang-orang yang melindungi uang/kekayaanya dengan uang lagi. kemudian rakyat memilih pilihan yang sudah ditentukan oleh yang punya power or money, siapa lagi kalau bukan pengusaha, ya oligarch ini. Termasuk oligarki tambang karena ada konsentrasi kekayaan didalamnya. Bisa anda pikir dari mana mereka mendanai kampanye dan perpolitikanya? Disadari atau tidak untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin sudah pasti butuh dana yang besar. Yang saya simpulkan dana perpolitikan ini disokong oleh tambang tersebut (Jadi mau seprotest apapun orang ya gak bakalan didengar lah).

Bisa jadi ditengah orang-orang yang gencar mendukung paslon jagoanya masing-masing, ada orang yang merasa terpaksa harus memilih dan datang ke TPS karena merasa tak ada pilihan lain. Mereka ini yang sebetulnya hopeless tapi masih saja berharap akan ada perubahan.

Pernah ga sih anda merasa serba salah dalam pemilihan pilpres tahun ini. Pilih 01 salah pilih 02 salah pilih golput sudah pasti dinilai salah. Dari mulai tuduhan liberal sampai issue khilafah dan gak pancasilais. Soal memilih itu urusan hati. Saya gak pernah tuh ngajak bahkan memaksa orang lain untuk dukung dan pilih siapa bahkan keluarga sendiri. Dan saya juga gak pernah atau merasa terpancing untuk menjelek-jelekan kedua kubu tersebut. Anda mau pilih siapa ya terserah anda. Saya nggak cukup kepo untuk tau orang-orang pilih siapa. Tapi lucunya, beberapa hari menjelang pilpres 2019 ada beberapa orang (mungkin suruhan orang yang nyaleg) yang mendatangi rumah-rumah untuk mengajak dan menentukan harus pilih siapa bahkan ada diantara mereka yang nyaleg ngasih uang yang menurut saya jumlah nya gak seberapa supaya milih dia target sasaranya dari orang-orang menengah kebawah termasuk keluarga saya. Dan mereka sudah menargetkan jumlah suara yang akan diperoleh dengan mendatangi rumah-rumah warga yang menjadi sasaran suara dengan iming-iming uang. Kebayangkan, belum apa-apa udah money politic gimana kalau terpilih nanti, siapa yang jamin dia akan jujur atau pro rakyat. Katanya demokrasi, tapi urusan memilih pemimpin aja diatur dan ditentukan harus pilih siapa seolah gak ada kebebasan untuk memilih. Mereka yang memilih punya alasan, mereka yang golput juga pasti punya alasan. Jangan diibaratkan seakan-akan golput itu adalah salah dan bodoh.

Saya pikir jangan terlalu fanatik, bisa jadi dibelakang baik pasangan 01 maupun pasangan 02 hubungan keduanya adem ayem aja (wong dalam urusan bisnis aja kerja sama kok!). Siapa tau nanti yang sekarang lawan menjadi kawan atau bahkan mereka berkoalisi. Inget, yang harus kita dukung dari seorang pemimpin itu ide dan gagasanya bukan oranganya. Saat kita mendukung orangnya ketika dia berbuat salah kita pasti akan kecewa tapi kalau yang kita dukung idenya, sekalipun orangnya berbuat salah hal itu tak akan menggoyah ide dan gagasanya. Kita gak bisa pilih pemimpin tanpa tau visi-misinya apa, program kerjanya apa, track record-nya gimana. Intinya nyoblos ga nyoblos itu harus berdasarkan hasil mikir bukan karena ikut-ikutan.

Yang perlu kita lakukan


Terlepas dari film itu hoax atau tidak, yang perlu kita lakukan adalah sadar lingkungan ini gak cuman omongan saja tapi harus take into action: Mulai dari hemat listrik, dua atau tiga taun ke belakang saya perlahan memulai gerakan hemat listrik, mulai dari diri sendiri dan dimulai dari hal kecil seperti matikan lampu kalau mau tidur, cabut charger hp kalau sudah fully charged karena biasanya suka ada charger-nya masih nempel di colokan meski gak digunakan padahal itu menyedot pemakaian listrik juga. Kalau sudah mulai ngantuk-ngantuk saya gak nonton tv, matikan saja tv-nya dan belakangan ini saya jarang nonton tv. Dan barang elektronik lainya seperti laptop ada baiknya mengisi ulang daya batre laptop tidak sambil digunakan kecuali kalau darurat, kalau dirumah saya manfaatkan sinar matahari sebagai penerangan kala siang hari, mematikan kipas angin secepatnya kalau sudah tidak merasa gerah lagi. 

Dan bukan dari segi penghematan listrik saja tapi ada banyak hal lain yang bisa kita lakukan seperti menggurangi pemakaian plastik, ini itung-itung zero waste action or at least reduce plastic waste, saya biasa bawa botol minum (tumbler) kalau bepergian biar ga usah beli minum di luar selain irit uang bisa nge-reduce sampah plastik juga. Kalau belanja bawa tote bag aja dari rumah alih-alih menggunakan kantong kresek. Jalan kaki atau naik transportasi umum bisa jadi alternative juga sebagai upaya menghemat BBM dan mengurangi polusi udara dan masih banyak lagi upaya lainya untuk mencegah planet bumi tempat kita bernaung ini dari kerusakan. Lebih bagus lagi kita kasih tau orang disekitar untuk melalukan hal yang sama. Paling tidak hal yang saya lakukan adalah nge-edukasi anak-anak kecil supaya gak buang sampah sembarangan, anak-anak kecil disekitar saya ataupun ke siswa saya. Tanpa diingatkan pun mestinya sadar lingkungan ini harus sudah ada pada diri individu masing-masing, toh dalam agama pun manusia diperintahkan untuk menjaga bumi dan lingkungan untuk tetap bersih dan tidak berbuat kerusakan.

Terakhir dari saya setelah nulis panjang lebar gak karuan: kita mengambil manfaat dari alam, lalu kapan kita akan memberi manfaat pada alam, merusak alam maka alam akan berhenti memberi manfaat.

#10 Egalitarianism



First of all, I feel sorry for the tragedy of mass shooting that happened in two mosques in New Zealand, my deepest sympathy for the victims and victims’ family. The truth is, till this time I am still feeling in grief and sorrowful although it did not happen to me directly. Nothing much I can do but pray for them, even it has almost been a couple of weeks after the tragedy but it still feels painful to me if I remember or hear it. I hope such tragedy will never ever occur again throughout the world.

Regardless of the mass shooting tragedy, if we talk about people, especially people around the world. Well, I had read a book; it has title in bahasa Indonesia ‘Komunikasi Lintas Budaya’ which was more or less a book on cross cultural understanding. The author of the book wrote a ton of experiences during his study overseas, and told me more about characteristic of people from different culture and country that made me so excited.

But there was a term that I did pay attention after reading a couple of chapters and it was about egalitarianism. Here, I am not going to make book review but I take an interest about an issue that is us as a human being.

Have you ever felt insecure when you were facing someone or people over you, it could be your boss, senior, lecturers, manager, or whatever in essence they have a higher position than you and then when you met and talked to them you felt suddenly as though you were nobody and lack of confident. Or in reverse, you felt secure and proud when you were amongst them you respect them very much just because they were considered as the rich, important and authoritative? If yes, how can you cope with such situation? 

Well, it is probably because I live in a country that follow collectivistic culture value (I am not sure though) makes me want to discuss this issue. We all agree that all of us as human being are equal without viewing race, ethnic, religion, skin colour, position, group and etc. But there are still many people don’t practice and show that they are egalitarian. People in Netherlands consider that the Dutch are equal as other Dutch as long as they are Human. We often find people here as if they have privilege due to their position, rich, status and this will infect to family member and makes someone feels proud because of his/her parent or relatives that have privileged or prominent status (you see what I mean?) and that is an innate achievement (being). In Australia and other west countries where embrace individualistic culture, they assume that one’s achievement is created (becoming) which is what have you already done in life.

In realm of work/business, okay I say here ‘working area’, we find people who have powerful and important position such as bosses, managers, supervisors, seniors, business owners are arbitrary in treating their workers or employees. For instance, if you work in a restaurant, your boss let all of job desk to the workers like what you do is what you should do, they no need to get involved in the process of cooking itself even for putting a toping because they think they have hired people to do it all. Yeah, there is no matter with it, but it looks like there is a gap between employer who feels superior and employee who feels insecure and inferior. And I sometimes feel that women role is considered less significant like for accompaniment only and it actually happen in masculine culture or in the countries that embrace patriarchy system. There are still many people think that women no need higher education because they will go back to the kitchen at the end  (that is a common saying around me) so they only have to know how to take care of their husband, children, and also how to cook, how to tidy up and everything about household.

In Indonesia, we are taught to respect the elder. We usually call our teacher or lecturer with ‘Pak’ it is just the same with ‘Sir’ and ‘Bu/ibu’ for ‘Mam’ or at least ‘Mr./Mrs.’ we call the same when we call a person who older than us regardless of we know him/her or not, sometimes people here want their title mentioned in certain opportunity as an instrument for power distance. You may often hear somebody’s called professor, doctor in university, worship place, wedding reception. And yeah, it is very common here. But unlike in Australia and other certain west countries, the students just call their teacher/lecturer’s name. It is not because they are rude or impolite but it is just a normal thing there.

And here, people also tend to idolize others excessively so if we watch TV programmes that show gesture of those who are the fame and being adored by people even tend to show off what’s their owns is usual, the worst is you like to watch it. In Netherland is different, no excessive idolization toward celebrities like in Indonesia. Even for the rich, they are unwilling to have a fancy house or apartment just to show their status, power and strength. Unfortunately, in reverse, people here tend to compete to build a fancy big house like a palace instead which is unnecessary, commonly in elite residence. Even we sometimes find an empty fancy house or it is occupied by a housekeeper only, the owners, they are not at home, maybe work or live out of the town or out of the country.

We don’t need to feel either insecure or superior and we don't view people either more superior or more inferior than us. Everybody has the same right and opportunity. In the life after nobody care whether you’re white or black people, you’re Asian or European, you’re rich or poor but we definitely will be asked for our responsibility of what we did in the day of judgement. We should aware, for Allah we are equal either men or women, God will make no distinction on whether we are rich or poor, master/professor, charming or not and all the things that is sophisticated but He will make a distinction on our eeman (faith) and goodness during we live in the world that we call ‘dunya’.



*reference: Komunikasi Lintas Budaya (2011) by Deddy Mulyadi

#26 Ngulik tentang Financial Literacy

  Photo by Chronis Yan on Unsplash Di blog ini pula, saya pernah sebelumnya menulis tulisan dengan judul “ "#14 Belajar Gaya Hidu...